MEMOAR EKSPEDISI ELANG JAWA G. BALURAN

tim ekspedisi
Oleh Imam Taufiqurrahman

(Bagian I)
Perjalanan
Panas matahari yang menggigit tak menyurutkan langkah Bintang, Batak dan saya menyusuri savana luas Taman Nasional Baluran, Rabu (01/07), siang itu. Bersama Kang Swiss dan Kang Tedy, staf Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) taman nasional tersebut, kami bermaksud menuju satu tempat bernama Kacip. Lokasinya berada di dasar kawah G. Baluran (1.200 m dpl), sekitar 5 km dari Bekol. Tempat itu akan menjadi lokasi camp kami sampai 6 hari ke depan dalam misi mengungkap keberadaan elang jawa di sana.
Saya abaikan saja beragam jenis burung yang kami temukan sepanjang perjalanan. Berjalan dalam paparan panas seperti itu, ditambah beratnya beban yang harus dibawa, menghilangkan selera saya mengamati mereka. Sepertinya saya sampai pada anggapan kalau burung tak lagi indah!
Namun semua berubah ketika tiba-tiba kami melihat seekor merak jantan yang terbang akibat kaget mendengar gemerisik langkah kaki kami. Bintang, yang baru kali itu menjumpai merak di alam, tak habis-habisnya berdecak kagum. Untuk ukuran burung sebesar itu kemampuan terbang merak memang luar biasa. Apalagi dengan kemilau hijau warna bulu dan juntai panjang ekornya. Ah, pastinya Tuhan telah menyematkan segenap keindahan padanya.
Momen yang sekejap itu sungguh menjadi penghibur bagi saya yang kepayahan di langkah awal perjalanan. Dan semakin kepayahan saja begitu menghadapi medan berupa punggungan, persis setelah melintasi savana. Di “etape kedua” itu kami harus naik turun memotong empat punggungan terbuka, yang didominasi rerumputan kering dengan hanya satu dua pohon yang tumbuh, guna menuju sebuah sungai tak berair. Kang Tedy pun mengingatkan agar kami berhati-hati terhadap kutu babi.
“Awas, hati-hati. Di sini banyak kutu babi,” ujar Kang Tedy. “Jangan sampai masuk ke alat vital, bisa bengkak,” lanjutnya.
Ngeri saya mendengar itu. Bakal lengkap penderitaan saya kalau sampai makhluk hitam kecil itu benar-benar melakukannya. Membayangkannya pun saya tidak berani. Siapa yang menyangka dalam pesona indah G. Baluran ada bahaya yang mengintai, bahkan dari makhluk kecil bernama kutu babi?
Sebentar-sebentar saya harus memeriksa seluruh badan dan menyingkirkan banyak kutu babi yang menempel, baik di pakaian maupun di bagian kulit yang terbuka. Saya tidak rela mereka ada di badan saya, meski hanya seekor. Terlebih, saya tidak rela bengkak!
Seketika tiba di dasar sungai, saya sungguh bersyukur akhirnya bisa lepas dari punggungan kutu babi itu. Kami pun beristirahat sejenak, melepaskan tekanan di pundak dikarenakan lilitan tali tas carier sembari mengatur kembali napas yang mulai lepas dari keteraturan akibat genjotan empat punggungan kutu babi itu. Canda gurau sesekali terlontar, namun kami harus kembali bergerak.
Sungai berbatu itu menawarkan tantangan tersendiri. Kaki-kaki harus kuat menapaki kerakal yang kerap labil menggelincirkan. Di sini saya akhirnya harus merelakan carier saya ganti dibawakan Batak. Tidak malu saya mengakui kalau saya benar-benar kepayahan saat itu.
Semakin jauh berjalan, sungai yang semula kering kemudian mulai tampak basah. Sebagaimana dikatakan Kang Swiss, akan ada genangan air yang kemudian berubah menjadi aliran sungai. Genangan air jernih menjadi pertanda kalau tidak lama lagi kami akan tiba di Kacip. Tanpa ragu kami pun melepaskan dahaga, meminum air itu langsung dan mengisi penuh botol-botol air kami yang kosong. Dan hingga hari benar-benar menjadi gelap, kami pun akhirnya tiba di Kacip. Tujuh jam yang melelahkan.

(Bagian II)
Kacip, Taman Jurrasic
Mengawali hari di Kacip adalah sebuah kejutan. Maklum saja, sebelumnya kami tidak sempat ormed (orientasi medan) karena tiba di lokasi camp saat malam. Kalaupun sempat memperhatikan keadaan sekitar, paling itu hanya sejauh jangkauan sorot lampu senter. Di pagi itu, hingga hari-hari berikutnya, saya merasa tidak seperti sedang berada di Baluran. Seakan berada dalam hutan di film Jurrasic Park, meski tanpa kehadiran dinosuraus-dinosaurus itu tentunya.
Suguhan bentang alam Kacip sungguh berbeda. Tak ada lagi hamparan luas padang datar savana yang coklat dan kering khas taman nasional berlambang banteng itu. Camp kami, yang berada persis di dasar kawah G. Baluran yang tidak lagi aktif, berdiri di lembah sungai dengan gemericik air yang tak henti mengalir. Sekelilingnya adalah tebing-tebing tinggi menjulang yang seakan menghimpit kami di dasar celahnya, dalam hutan hijau yang lembab dan bertajuk rapat. Rupanya inilah tempat yang disebut-sebut MacKinnon, sebuah tempat di Baluran yang diperkirakan masih bisa ditemukan jenis-jenis burung aneh.
Hari itu lebih banyak kami gunakan untuk mengurai lelah perjalanan yang baru kami lalui sambil berkeliling santai, mencoba menyesuaikan diri di lingkungan yang sama sekali berbeda dari dataran rendah Baluran sana. Saya sendiri begitu menikmatinya, tanpa ada sinyal hp maupun frekuensi ht untuk berkomunikasi dengan dunia luar.

Elang jawa G. Baluran
Saat awal diminta Mas Wawan untuk menjalani misi mengungkap keberadaan elang jawa di G. Baluran ini saya berpikir, sepertinya tugas itu tidak akan mudah. Pemikiran itupun semakin kuat saja begitu mengetahui kondisi alam yang ada. Hutan di dasar kawah G. Baluran ini sebagian besar tidak pernah terjamah, bahkan oleh staf TN Baluran sekalipun.
Namun ternyata keberuntungan berpihak pada kami. Pukul 13.40 di hari pertama itu, seekor elang jawa menunjukkan diri tak jauh dari lokasi camp. Saya sedang bersama Bintang, mengendap-endap di tepian sungai mengintip gerak-gerik binturong, tupai cantik berukuran besar bernama ilmiah Ratufa bicolor, saat tiba-tiba dua ekor elang terbang berkejaran. Meski berjarak relatif dekat, namun tanpa binokuler saya tidak berhasil mengenali keduanya. Hanya dominasi coklat terang tubuh salah seekornya yang berhasil saya perhatikan. Ketika kembali ke camp ternyata seluruhnya anggota tim melihat. Kang Swiss bahkan berhasil mendokumentasikannya. Dari foto yang didapat terlihat jelas bentuk, pola garis di sayap dan ekor dari elang itu. Rupanya yang kami lihat adalah seekor elang jawa yang tengah dikejar elangular bido.
Hingga dua hari berikutnya, hanya seekor elang jawa saja yang berhasil kami jumpai. Pengamatan itu kami lakukan dari sebuah bukit. Bukit Elja, sebut saja demikian, menjadi titik yang cukup ideal untuk melakukan pengamatan raptor. Ketinggiannya mungkin hanya separuh dari tebing-tebing kawah G. Baluran yang melingkupinya, namun dari tempat itu seluruh kawasan dalam kawah bisa terpantau tanpa ada penghalang. Elangular bido dan elang hitam menjadi jenis burung pemangsa yang paling kerap terpantau. Sesekali bahkan terlihat bertengger.
Senin, (06/07) pagi, tim bergerak turun. Ada kelegaan karena misi telah berjalan sukses. Apalagi selama di sana tim juga berhasil menjumpai 3 jenis burung yang menambah panjang daftar jenis burung TN Baluran, yakni luntur harimau, jinjing petulak dan cekakak batu. Ingin rasanya bersorak gembira, namun urung saya lakukan. Teringat sungai berbatu, punggungan kutu babi dan savana luas itu. Ah, berat sekali meninggalkan Kacip.

2 Tanggapan to “MEMOAR EKSPEDISI ELANG JAWA G. BALURAN”

  1. zhy Says:

    Seingat saya yang namanya binturong itu adalah hewan dari ordo carnivore, bukan dari rodentia(hewan pengerat) dengan nama latin Artistic binturong dan untuk ras di jawa dinamakan Artistic binturong binturong.

    Mungkin hewan yang dimaksud diatas adalah Jalaran, Genus tupai besar yang tersebar di jawa, sumatra dan kalimantan. Demikian klarifikasi saya.. maju terus KIBC!

  2. imam Says:

    Terima kasih ralatnya. Benar, yang saya maksud jalaran/jelarang bukan binturong.

    Demikian sebagai koreksi.

    Salam

Tinggalkan Balasan ke zhy Batalkan balasan